Jumat, 01 Mei 2009

الشيخ سليمان الرسولي الشافعي المننكبوي

Syeikh Sulaiman al-Rasuliy
Oleh: Zul 'Ashfi*
"Teroeskan membina Tarbijah Islamijah sesoeai dengan peladjaran jang koeberikan! Tjandoeng, 26 Djuli 1970, Sjech Soelaiman Ar-Rasoeli"
Begitulah pesan terakhir ulama besar ini yang tertulis pada makamnya, di halaman pesantren salafiyah Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Candung.
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli al-Minangkabawi atau Inyiak Canduang -begitu ia dijuluki- lahir di desa Candung, sekitar 10 km sebelah timur kota Bukittinggi, Sumatera Barat, 1287 H/1871 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tuo (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih) yang gigih mempertahankan ajaran Ahl al-Sunnah dalam masalah akidah dan fikih. Ayahnya bernama Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di daerahnya ketika itu. Sedangkan ibunya, Siti Buliah, seorang wanita yang taat beragama.
Pendidikan
Ia yang dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, memperoleh pendidikan awal sejak kecil; terutama pendidikan agama langsung dari ayahnya. Selanjutnya ia belajar di pesantren Tuanku Sami' Ilmiyah di desa Baso, tidak jauh dari desanya. Setelah itu ia belajar kepada Syeikh Muhammad Thaib Umar di daerah Sungayang. Pada masa itu masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau atau sistem salafiyah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan. Kemudian ia belajar dari Syeikh Muhammad Thaib Umar ini Inyiak Canduang melanjutkan belajar agama pada Syeikh Abdullah Halaban.
Sebelum berangkat ke Mekah pada tahun 1903 M dengan misi tafaqquh fî al-dîn, ia sempat belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi, Bukittinggi. Ketika tinggal di Mekah, selain kepada Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, ia juga belajar kepada para ulama lain, di antaranya: Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, Syeikh Mukhtar al-Tharid, Syeikh Nawawi al-Bantani, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayyid Abbas al-Yamani.
Adapun ulama yang seangkatan dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli ketika di Mekah antara lain adalah Syeikh Utsman Serawak (w.1921 M), Tok Kenali (w.1933 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatera Utara (w.1936 M), KH. Hasyim Asy'ari (w.1947 M), Syeikh Muhammad Zein Simabur, Mufti Kerajaan Perak Tahun 1955 (w.1957 M), Syeikh Abdul Lathif al-Syakur al-Minangkabawi (w.1963 M). Adapun ulama yang terakhir ini, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli bertemu dengannya di Mekah tidak berapa lama, yaitu pada pertengahan tahun 1903. Karena Syeikh Abdul Lathif al-Syakur kembali ke tanah air pada akhir tahun 1903 setelah belajar di Mekah selama 13 tahun.
Sekembalinya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dari Mekah pada tahun 1907 M, ia mulai mengajar berdasarkan sistem pondok yaitu dengan halaqah. Tetapi sesuai dengan perubahan yang terjadi di Minangkabau, pengajian sistem pondok berubah menjadi sistem sekolah; yaitu duduk di bangku pada tahun 1928 dan menggunakan sistem kelas. Walaupun demikian kitab-kitab yang diajarkan tidak pernah diubah sampai saat ini, baik kitab-kitab akidah, tasawuf dan fikih.
Perjuangan
Selain aktif di dunia pendidikan agama, ia juga aktif di kancah politik dan organisasi. Sejak tahun 1921, ia dengan teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama Kaum Tuo Minangkabau, membentuk organisasi bernama Ittihâdu Ulamâ Sumatra (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah. Di samping itu, ia juga gigih mempertahankan ajaran ­Tarekat Naqsyabandiyyah yang sesuai dengan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.
Sejarah perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah dalam mengembangkan sumber daya masyarakat. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun olehnya, sehingga menjadi piranti bagi perjuangan rakyat Sumatera Tengah (mencakup Sumbar, Riau dan Jambi).
  1. Reformasi sistem pendidikan agama sebagai modal perjuangan rakyat dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Siklus dari reformasi yang dilakoni Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli ialah membentuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Proses berdirinya MTI ini didahului dengan musyawarah antara ulama-ulama yang dilaksanakan di Candung pada tanggal 5 Mei 1928. Di antara ulama yang menghadiri rapat ini ialah: Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Abbas Al-Qadhi dari Ladang Laweh Bukittinggi, Syeikh Ahmad dari Suliki, Syeikh Jamil Jaho dari Padang Panjang, Syeikh Abdul Wahid Ash-Shaleh dari Tabek Gadang, Syeikh Muhammad Arifin dari Batu Hampar, Syeikh Alwi dari Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syeikh Jalaluddin dari Sicincin Pariaman, Syeikh Abdul Madjid dari Koto Nan Gadang Payakumbuh. Secara genetif MTI yang ia dirikan merupakan poros dari eksistensi MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216 MTI yang eksis di Sumatera Barat.
  2. Pada tanggal 28 Mei 1930 ia memprakarsai berdirinya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berfungsi sebagai pengelola MTI-MTI yang berada di bawah naungannya. Namun disebabkan gejolak reformasi pada Tahun 1946, PERTI yang khittah-nya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih fungsi menjadi partai politik. Peralihan fungsi PERTI ini menjadi partai politik disebabkan argumen KH. Sirajuddin Abbas muridnya “Agama Juga Harus Memberi Arah Pada Perjuangan Politik Bangsa”. Namun pada tanggal 1 Mei 1969 ia mengeluarkan Dekrit agar PERTI kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan.


Pengaruh
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan maupun lawan. Sejak zaman pemerintahan Belanda, ia sering dikunjungi pemimpin-pemimpin bangsa. Bahkan sebelum Soekarno menjadi Presiden hingga berkuasa, sering berkunjung ke rumahnya. Pada zaman kemerdekaan ia sempat diamanatkan oleh Soekarno sebagai anggota konstituante RI, dan ditempatkan sebagai Dewan Kehormatan dengan menjadi pemimpin sidang pada sidang-sidang konstituante tersebut. Pada tahun 1947 ia juga diamanatkan oleh Sutan Muhammad Rasyid sebagai kepala Mahkamah Syar’iyyah propinsi Sumatera Tengah. Tugasnya adalah mengurus problematika syar’iyyah dan sekaligus ulama yang berperan sebagai pengobar semangat perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan negara.

Pada masa itu juga, sebagaimana dituturkan oleh salah seorang muridnya, Abuya Amilizar Amir, bahwa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli pernah akan ditangkap oleh tentara Belanda. Namun pada saat mengajar, ia berfirasat akan ditangkap. Ketika menyadari hal itu, yang biasanya berada di tempat pengajaran, ia keluar dan berjalan di jalan desanya bukan untuk melarikan diri. Silang beberapa saat, kendaraan yang membawa tentara Belanda yang bertujuan untuk menangkapnya lewat. Tepat dihadapannya tentara Belanda berhenti, ia pun langsung bertanya, "Hendak kemana tuan-tuan semuanya"? Ketika itu tentara Belanda tidak mengenal wajah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli. Namun mereka berpatokan kepada siapa yang sedang mengajar di MTI itulah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli. Dan memang pada hari itu satu-satunya yang mengajar di MTI adalah beliau. Oleh karenanya mereka menjawab, "Kami hendak bertemu dan menangkap Syeikh Sulaiman". Malah ia menawarkan mereka singgah untuk beristirahat di rumahnya sembari mengatakan, "Alangkah baiknya tuan-tuan singgah terlebih dahulu di rumah saya, karena tuan-tuan pasti akan bertemu dengan orang yang tuan-tuan cari". Setelah beristirahat dan berbincang-bincang dengannya, lalu mereka bertanya, "Mana Syeikh Sulaiman yang tuan katakan itu"? Ia menjawab, "Syeikh Sulaiman yang tuan-tuan cari itu adalah saya sendiri". Mereka merasa terkejut ketika mendengarkan pengakuannya. Tetapi anehnya, mereka mengurungkan niat untuk menangkapnya tanpa alasan yang jelas. Bahkan, mereka langsung meminta maaf. Inilah di antara bentuk perlindungan Allah Swt kepada seorang ulama.

Karya-karya
Sebagai seorang ulama dan ahli adat, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya yang di antaranya banyak dipelajari oleh pelajar Muslim Sumatera dan beberapa kawasan nusantara lainnya. Di antara karya-karyanya:


Dhiyâ' al-Sirâj fî al-Isrâ' wa al-Mi'râj ضياء السراج في الإسراء والمعراج
Tsamarah al-Ihsân fî Wilâdah Sayyid al-Insân ثمرة الإحسان في ولادة سيد الإنسان
Dawâ' al-Qulûb fî Qishshah Yusuf wa Ya'qûb دواء القلوب في قصة يوسف ويعقوب
Risâlah al-Aqwâl al-Wasithah fî al-Dzikr wa al-Râbithah رسالة الأقوال الواسطة في الذكر والرابطة
Qaul al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân قول البيان في تفسير القرآن
Al-Jawâhir al-Kalâmiyyah الجواهر الكلامية
Al-Aqwâl al-Mardhiyyah الأقوال المرضية
Sabîlu al-Salâmah fî Wird Sayyid al-Ummah سبيل السلامة في ورد سيد الأمّة
Aujaz al-Kalâm fî Arkân al-Shiyâm أوجز الكلام في أركان الصيام
Perdamaian Adat dan Syara'
Pengangkatan Penghulu di Minangkabau
Kisah Muhammad Arif dan belasan karya tulis lainnya.

Ia wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H/ 1 Agustus 1970 M. Pada hari pemakamannya, diperkirakan ada tiga puluh ribu umat Islam yang hadir. Termasuk para pemimpin dari dalam negeri, bahkan dari Malaysia. Bendera RI dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut. Kepergiannya meninggalkan duka yang dalam bagi rakyat Indonesia, karena hilangnya salah seorang ulama yang kharismatik. Jasanya sebagai perintis kemerdekaan dan pengemban agama Islam tidak dapat dinilai hanya dengan penghargaan Oranye Van Nassau dari pemerintah Belanda, Bintang Sakura dari pemerintah Jepang, serta penobatan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dan dianugerahi tanda penghargaan sebagai ulama pendidik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana semua komponen masyarakat mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

*Zul 'Asfi (Abu Fairouz) Mahasiswa semester VIII Fakultas Dirasat Islamiyyah UIN Syahid Jakarta, Mahasantri semester II Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, asal Bukittinggi, Sumatera Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar