Minggu, 03 Mei 2009

Mengenal Allah

Kita sering mendengar ungkapan "awwaluddiin ma'rifatuLLAH" (tahap pertama dalam beragama adalah mengenal Allah swt). Bahkan tidak hanya mendengar, barangkali kita sendiri yang pernah mengucapkan ungkapan ini kepada rekan kita, atau disaat kita belajar agama. Ada yang sekedar menyampaikan tanpa mengatakan ini adalah hadits Nabi saw dan ada juga yang mengatakannya sebagai hadits Nabi saw.
Jika kita mebolak-balik kitab-kitab hadits untuk mencari ungkapan ini apakah berasal dari Rasul saw atau tidak semisal kutub sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmizi, Sunan Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah) atau kutub tis'ah (yang enam di atas ditambah al-Muwaththa' Imam Malik, Musnad Ahmad, Sunan Darimi) radhiyallahu 'anhum, maka kita tidak akan menemukannya karena memang bukan hadits. Kalau dinisbahkan kepada Nabi saw maka ungkapan ini dicap sebagai hadits palsu atau paling kurang ada indikasi kepalsuannya jika memang tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Namun yang jelas, tidak ada kata-kata kecuali ada orang yang mengatakannya.
Jika kita memahami ungkapan di atas, memang benar karena setiap orang yang mengaku muslim harus mengikrarkan syahadat sebagai bukti keislamannya serta mengimani semua makna yang terlahir dari kalimat syahadat itu. Syahadat merupakan tahap awal seseorang mengenal Allah swt dan Rasul saw. Kenapa bisa dikatakan ini adalah tahap awal mengenal Allah swt? Karena ketika seseorang telah mengikrarkan tentang ketuhanan Allah swt dan kenabian Rasul saw, dia pasti akan bertanya sekalipun hanya sekali seumur hidup "kenapa harus Allah, ada apa dengan Allah sehingga harus disembah, mana Allah itu". Tidak cuma orang yang telah baligh, pertanyaan itupun tidak luput dari lidah anak kecil. Karena memang fitrah manusia diciptakan untuk mengenal Penciptanya, baik orang dewasa maupun anak kecil. Namun dengan cara masing-masing.
Agama telah menetapkan apa saja yang harus diketahui hamba tentang Allah swt; mengenal Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Bagaimana seseorang bisa mengenal Allah swt? Ada dua cara untuk mengenal Allah swt.
  1. Dari ayat-ayat qur'aniyyah dan hadits-hadits Nabi, seperti dalam surat al-Hasyr ayat 22-24. Juga dengan hadits riwayat Tirmizi nomor 3507 yang menerangkan nama-nama Allah swt.
  2. Melalui akal pikiran yang telah diciptakan Allah swt. Ketika kita memperhatikan sebuah mesjid megah dan besar, akan muncul pertanyaan dalam benak kita siapa arsitektur mesjid ini. Sebuah ungkapan yang membuktikan adanya perancang mesjid itu. Itu baru sekedar mesjid yang tidak seberapa besar dibandingkan dengan wilayah dimana mesjid itu dibangun. Alam semesta, termasuk diri kita tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang merancang dan menciptakan. Semua tersusun rapi dengan skenario yang matang. Dan Allah swt menciptakan ini semua tanpa proses berpikir karena pikiran adalah alat, sedangkan Allah swt tidak membutuhkan sesuatupun dari makhluk-Nya. Sebenarnya memikirkan alam semesta ini dalam rangka mengenal adanya Allah swt, motivasi dari al-Qur'an sendiri. Diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 164. Begitu juga dalam merenungkan tentang diri kita, juga merupakan cara untuk mengenal Allah swt. Sehingga ada ungkapan "man 'arafa nafsahu 'arafa Rabbahu" (siapa yang kenal akan dirinya niscaya dia akan kenal Tuhannya). Artinya, siapa yang kenal akan kelemahan dirinya di hadapan Allah swt maka dia akan mengenali Allah swt dengan kemahakuasaannya. Imam Nawawi mengatakan ini bukan hadits. Imam Ibnu al-Sam'ani mengatakan ini adalah ungkapan dari Yahya ibn Mu'az al-Razi. Imam Suyuthi juga mengatakan ini bukan hadits, tapi makna dari ungkapan ini memang benar sehingga Imam Suyuthi tertarik untuk mengarang kitab berjudul al-Qawl al-Asybah fi ma'na "man 'arafa nafsahu 'arafa Rabbahu". Allahu a'lam

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, ade telah memahami dasar dari ma'rifatullah.. selanjutnya harus melangkah naik yakni dari ma'rifat ucapan menuju ma'rifat penyaksian, seperti kalimat syahadat.. awalnya hanyalah sebuah ucapan biasa tanpa maknah.. yah tanpa maknah karena kita mengaku menyaksikan tepi sebatas ucapan, karne penyaksian membutuhkan keterlibatan dalam menyaksikan, dan itu adalah dengan melihat (MENYAKSIKAN) Melalui mata qalbu, dan engkau harus mati sebelum mati agar terbuka mata qalbumu dalam memandang ALLAH hinga sempurnahlah syahadatmu. olehnya carilah dan temukan seorang guru, seorang mursyid, dialah yang mengantarmu menuju pencerahan cahaya Kebenaran.. salam kenal.. Yusuf di Batam (callme.yusuf@gmail.com)

    BalasHapus