Minggu, 10 Mei 2009

Zul 'Ashfi

Saat di kampus UIN Jakarta.

Two Brothers

Zul 'Ashfi, Zul Ihsan

Wisuda

Dari kiri:
Arif Mudasir, Ari Fernandes, Zul 'Ashfi (pegang ajazah), Rahmat Donald, Aroma, Ahmad Syarif H, M.Irfan, Ibnu Hasnul.

Juni tahun 2005, ceremony wisuda santri Pesantren Salafiyah; Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung.

Syeikh.Dr.Hassan Hitou

Dari kiri berdiri:
M.Hasan Basri, Adrian Syah, Mashuri, Idris Mas'udi, Syeikh Hassan (dari Syiria), Tubagus Hasan Basri, M.Zidny Naf'an, Agus Gunawan, ???

Dari kanan duduk
:
Zul 'Ashfi, Khathibul Umam, Ali Wafa, Denden Taufik, Abdullah Ma'ruf, Didin Miftahuddin, ???

Syeikh.Dr.Hassan Hitou mengunjungi muridnya, Prof.Dr.KH.Ali Musthafa Ya'kub di Ma'had Ilmu Hadits Darussunnah.

Selasa, 05 Mei 2009

الكلم الطيب

بســــــــم الله والحمد لله خالق الأنام المستغني عما سواه وهو غني عن العالمينأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له أكرمنا بالإسلام وأنعم علينا بالإيمان وهدانا إلى التمسك بالعروة الوثقى والحبل الأقوى وذلك باتباع القرآن الكريم والاهتداء بسنة الرسول العظيم خاتم الأنبياء صلى الله عليه وسلموأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وشرف وكرم في كل حين أبدا عددَ نعم الله تعالى وإفضاله وبعدفهذا موقِع في منشورة المعلومات الإسلامية اشتملت على الأهمّ من الفرقة الناجية وما بصددها من الأمور المتعلقة بمضمون هذه الفرقة ونبين فيها ما كان واجبا لكل مسلم أن يعلمه ويعتقده لئلا يكون الإسلام بمجرد اللباس لهم بل لابد أن يكون الإسلام لباسا لهم ظاهرا وباطناأليس من العجيب الذين يتديّنوا بدين الإسلام ويقرؤون القرآن لكن لا يصل ذلك إلى قلوبهم كما وصف النبي صلى الله عليه وسلم بعضَ أهل الهوى يقرؤون القرآن لا يجاوز حلاقيمهم يخرجون من الدين كما يخرج السهم من الرمية ثم لا يعودون فيه هم شرُّ الخلق والخليقة رواه مسلم من حديث عبادة بن الصامت رضي الله عنهاللهم صل على سيدنا محمد وأرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi-Nya, Sang Pencipta makhluk, Yang tidak membutuhkan sesuatupun kepada selain-Nya. Dia Yang Kaya dari sekalian alam. Yang memberi petunjuk bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Situs Maklumat Islamiyyah ini sebagai media informasi tentang akidah firqah najiyah yang disebut juga Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan apa-apa yang berkaitan dengan permasalahan yang terdapat di dalam golongan ini.Akan dijelaskan apa-apa saja yang mesti diketahui oleh seorang muslim dalam berakidah, agar Islam tidak hanya sebagai pakaian yang terlihat indah dari luar. Namun yang paling penting adalah, keislaman seseorang benar-benar menjadi identitas lahir dan batin. Bukankah menjadi sebuah keanehan, ketika seseorang mengaku beragama Islam dan dia juga membaca al-Qur'an setiap saat, akan tetapi bacaannya itu tidak sampai ke kerongkongannya apalagi ke hatinya. Nabi saw pernah mengungkap orang seperti ini dengan sabda beliau; Mereka membaca al-Qur'an akan tetapi tidak mencapai kerongkongan mereka. Mereka telah keluar dari agama (yang sebenarnya), seolah-olah mereka ibarat anak panah yang ditembakkan dari busurnya dan tidak akan kembali lagi. Mereka itu seburuk-buruk makhluk ciptaan. (HR: Muslim, dari 'Ubadah ibn Shamit ra).Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad saw dan perlihatkanlah yang benar itu adalah benar, dan yang bathil itu adalah bathil, amin.

Minggu, 03 Mei 2009

Muzakarah Hadits, Ma'had Darussunnah

Dari kiri;
Kathibul Umam al-Batawi, Zul 'Ashfi al-Cipanasi, Tubagus Hasan Basri al-Bantani.

Mengenal Allah

Kita sering mendengar ungkapan "awwaluddiin ma'rifatuLLAH" (tahap pertama dalam beragama adalah mengenal Allah swt). Bahkan tidak hanya mendengar, barangkali kita sendiri yang pernah mengucapkan ungkapan ini kepada rekan kita, atau disaat kita belajar agama. Ada yang sekedar menyampaikan tanpa mengatakan ini adalah hadits Nabi saw dan ada juga yang mengatakannya sebagai hadits Nabi saw.
Jika kita mebolak-balik kitab-kitab hadits untuk mencari ungkapan ini apakah berasal dari Rasul saw atau tidak semisal kutub sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmizi, Sunan Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah) atau kutub tis'ah (yang enam di atas ditambah al-Muwaththa' Imam Malik, Musnad Ahmad, Sunan Darimi) radhiyallahu 'anhum, maka kita tidak akan menemukannya karena memang bukan hadits. Kalau dinisbahkan kepada Nabi saw maka ungkapan ini dicap sebagai hadits palsu atau paling kurang ada indikasi kepalsuannya jika memang tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Namun yang jelas, tidak ada kata-kata kecuali ada orang yang mengatakannya.
Jika kita memahami ungkapan di atas, memang benar karena setiap orang yang mengaku muslim harus mengikrarkan syahadat sebagai bukti keislamannya serta mengimani semua makna yang terlahir dari kalimat syahadat itu. Syahadat merupakan tahap awal seseorang mengenal Allah swt dan Rasul saw. Kenapa bisa dikatakan ini adalah tahap awal mengenal Allah swt? Karena ketika seseorang telah mengikrarkan tentang ketuhanan Allah swt dan kenabian Rasul saw, dia pasti akan bertanya sekalipun hanya sekali seumur hidup "kenapa harus Allah, ada apa dengan Allah sehingga harus disembah, mana Allah itu". Tidak cuma orang yang telah baligh, pertanyaan itupun tidak luput dari lidah anak kecil. Karena memang fitrah manusia diciptakan untuk mengenal Penciptanya, baik orang dewasa maupun anak kecil. Namun dengan cara masing-masing.
Agama telah menetapkan apa saja yang harus diketahui hamba tentang Allah swt; mengenal Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Bagaimana seseorang bisa mengenal Allah swt? Ada dua cara untuk mengenal Allah swt.
  1. Dari ayat-ayat qur'aniyyah dan hadits-hadits Nabi, seperti dalam surat al-Hasyr ayat 22-24. Juga dengan hadits riwayat Tirmizi nomor 3507 yang menerangkan nama-nama Allah swt.
  2. Melalui akal pikiran yang telah diciptakan Allah swt. Ketika kita memperhatikan sebuah mesjid megah dan besar, akan muncul pertanyaan dalam benak kita siapa arsitektur mesjid ini. Sebuah ungkapan yang membuktikan adanya perancang mesjid itu. Itu baru sekedar mesjid yang tidak seberapa besar dibandingkan dengan wilayah dimana mesjid itu dibangun. Alam semesta, termasuk diri kita tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang merancang dan menciptakan. Semua tersusun rapi dengan skenario yang matang. Dan Allah swt menciptakan ini semua tanpa proses berpikir karena pikiran adalah alat, sedangkan Allah swt tidak membutuhkan sesuatupun dari makhluk-Nya. Sebenarnya memikirkan alam semesta ini dalam rangka mengenal adanya Allah swt, motivasi dari al-Qur'an sendiri. Diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 164. Begitu juga dalam merenungkan tentang diri kita, juga merupakan cara untuk mengenal Allah swt. Sehingga ada ungkapan "man 'arafa nafsahu 'arafa Rabbahu" (siapa yang kenal akan dirinya niscaya dia akan kenal Tuhannya). Artinya, siapa yang kenal akan kelemahan dirinya di hadapan Allah swt maka dia akan mengenali Allah swt dengan kemahakuasaannya. Imam Nawawi mengatakan ini bukan hadits. Imam Ibnu al-Sam'ani mengatakan ini adalah ungkapan dari Yahya ibn Mu'az al-Razi. Imam Suyuthi juga mengatakan ini bukan hadits, tapi makna dari ungkapan ini memang benar sehingga Imam Suyuthi tertarik untuk mengarang kitab berjudul al-Qawl al-Asybah fi ma'na "man 'arafa nafsahu 'arafa Rabbahu". Allahu a'lam

Jumat, 01 Mei 2009

Abu Fairouz

هذه صورتي عندما كنت في مكان الحريس بعد صلاة العصر في معهد دار السنة العالي لعلوم الحديث
أنا أبو فيروز فأين أم فيروز؟

Ummu Fairouz & Abu Fairouz

Ungkapan Syeikh 'Abdul Ghani al-Nablusi

'Abd al-Ghani al-Nablusi, seorang Imam Manhaj Ahlussunnah abad ke-12 Hijriyah wafat pada tahun 1144 Hijriyah. Beliau menegaskan tentang keberadaan Allah swt; "Siapa yang berkeyakinan bahwa Allah swt memenuhi langit dan bumi atau dia menganggap Allah swt duduk di atas 'Arsy-Nya, maka dia telah berlaku kufur (fasiq) sekalipun dia mengaku sebagai seorang muslim".

Tak disangkal lagi bahwa akidah ini adalah akidah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dari sisi penempatan Zat yang Maha Kuasa pada makhluk-Nya. Karena sifat bertempat hanyalah untuk makhluk-Nya bukan Zat-Nya. ليس كمثه شيئ, begitulah salah satu firman Allah yang menafikan penyerupaan dengan makhluk-Nya. Lalu bagaimana dengan dali-dalil yang secara tekstual menjelaskan Allah berada di 'arsy atau di langit, sebagaimana berikut;

  • Tentang di atas 'asry: Thaha ayat5. Al-A'raf ayat 54. Yunus ayat 3. Ar-ra'du ayat 2. As-sajadah ayat 4. Al-hadid ayat 4. Al-Furqan ayat 59.
  • Tentang diatas langit: Al-Mulk ayat 16&17. An-nahl ayat 50. Az-zukruf ayat 84. Al-An'am ayat 3.

Sedikit jawaban:

Kita wajib mengetahui bahwa salah satu sifat Allah adalah: MUKHALAFATUHU LIL HAWADITS (Allah tidak sama dengan makhluknya), sifat ini adalah inti dari ayat ليس كمثله شيئ yaitu Allah swt tidak menyerupai apapun. Artinya kalau kita mengatakan Allah ada di atas arsy atau di langit berarti Allah menempati suatu tempat dan itu sama dengan makhluk (juga menempati tempat). Sedikit penjelasan: yang dimaksud Allah beristiwa di atas arsy adalah pembuktian bahwa Allah Maha Kuasa atas segala-galanya karena makhluk yanh paling besar yang diciptakan Allah adalah 'Arsy. Ketika Allah swt maha kuasa dari makhluk-Nya yang paling besar ini, lalu bagaimana dengan makhluk lainnya yang lebih kecil!? Nah sekalipun arsy itu mulia karena tempatnya para malaikat, tapi Allah swt lebih mulia dari segalanya. Bukan menjadikan 'arsy sebagai tempat.

Seperti ungkapan Imam 'Ali ra yang diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu bain al-Firaq; كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان "Allah telah ada (sejak azali), tanpa bertempat, Dia sekarang sebagaimana adanya". Jika seseorang mengatakan bahwa Allah menempati sesuatu, sadar maupun tidak sadar dia telah mencoba membayangkan dan menghayalkan posisi Allah swt. Masih ungkapan Imam 'Ali, beliau berkata مهم تصورت ببالك فالله بخلاف ذالك "apapun yang tergambar dalam pikiranmu tentang Allah swt, maka Dia berbeda dengan apa yang dibayangkan itu", riwayat Abu Nu'aim dalam kitab hilyah al-Awliya'. Ungkapan ini beliau kemukakan ketika orang-orang yahudi mempertanyakan tentang ketuhanan, mereka menanyakan صف لنا ربك "jelaskan kepada kami bagaimana Tuhanmu". Karena orang yahudi meyakini bahwa Tuhan mereka berada di langit dan mereka mengharapkan penyerupaan "Tuhan" mereka dengan Tuhan Imam 'Ali ra.

Akan tetapi Allah swt maha suci dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk-Nya. Allah wajibul wujud tidak butuh kepada mumkinul wujud. Kita wajib mengimani apa saja yang tertera di dalam al-Qur'an tanpa tasybih (menyerupakan Khaliq dengan makhluk) dan tanpa ta'thil (menafikan sifat Allah swt). Allahu A'lam. By Abu Fairouz & Ummu Fairouz

الشيخ سليمان الرسولي الشافعي المننكبوي

Syeikh Sulaiman al-Rasuliy
Oleh: Zul 'Ashfi*
"Teroeskan membina Tarbijah Islamijah sesoeai dengan peladjaran jang koeberikan! Tjandoeng, 26 Djuli 1970, Sjech Soelaiman Ar-Rasoeli"
Begitulah pesan terakhir ulama besar ini yang tertulis pada makamnya, di halaman pesantren salafiyah Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Candung.
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli al-Minangkabawi atau Inyiak Canduang -begitu ia dijuluki- lahir di desa Candung, sekitar 10 km sebelah timur kota Bukittinggi, Sumatera Barat, 1287 H/1871 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tuo (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih) yang gigih mempertahankan ajaran Ahl al-Sunnah dalam masalah akidah dan fikih. Ayahnya bernama Angku Mudo Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di daerahnya ketika itu. Sedangkan ibunya, Siti Buliah, seorang wanita yang taat beragama.
Pendidikan
Ia yang dikenal oleh para muridnya dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman, memperoleh pendidikan awal sejak kecil; terutama pendidikan agama langsung dari ayahnya. Selanjutnya ia belajar di pesantren Tuanku Sami' Ilmiyah di desa Baso, tidak jauh dari desanya. Setelah itu ia belajar kepada Syeikh Muhammad Thaib Umar di daerah Sungayang. Pada masa itu masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau atau sistem salafiyah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan. Kemudian ia belajar dari Syeikh Muhammad Thaib Umar ini Inyiak Canduang melanjutkan belajar agama pada Syeikh Abdullah Halaban.
Sebelum berangkat ke Mekah pada tahun 1903 M dengan misi tafaqquh fî al-dîn, ia sempat belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi, Bukittinggi. Ketika tinggal di Mekah, selain kepada Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minangkabawi, ia juga belajar kepada para ulama lain, di antaranya: Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, Syeikh Mukhtar al-Tharid, Syeikh Nawawi al-Bantani, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayyid Abbas al-Yamani.
Adapun ulama yang seangkatan dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli ketika di Mekah antara lain adalah Syeikh Utsman Serawak (w.1921 M), Tok Kenali (w.1933 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatera Utara (w.1936 M), KH. Hasyim Asy'ari (w.1947 M), Syeikh Muhammad Zein Simabur, Mufti Kerajaan Perak Tahun 1955 (w.1957 M), Syeikh Abdul Lathif al-Syakur al-Minangkabawi (w.1963 M). Adapun ulama yang terakhir ini, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli bertemu dengannya di Mekah tidak berapa lama, yaitu pada pertengahan tahun 1903. Karena Syeikh Abdul Lathif al-Syakur kembali ke tanah air pada akhir tahun 1903 setelah belajar di Mekah selama 13 tahun.
Sekembalinya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dari Mekah pada tahun 1907 M, ia mulai mengajar berdasarkan sistem pondok yaitu dengan halaqah. Tetapi sesuai dengan perubahan yang terjadi di Minangkabau, pengajian sistem pondok berubah menjadi sistem sekolah; yaitu duduk di bangku pada tahun 1928 dan menggunakan sistem kelas. Walaupun demikian kitab-kitab yang diajarkan tidak pernah diubah sampai saat ini, baik kitab-kitab akidah, tasawuf dan fikih.
Perjuangan
Selain aktif di dunia pendidikan agama, ia juga aktif di kancah politik dan organisasi. Sejak tahun 1921, ia dengan teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama Kaum Tuo Minangkabau, membentuk organisasi bernama Ittihâdu Ulamâ Sumatra (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah. Di samping itu, ia juga gigih mempertahankan ajaran ­Tarekat Naqsyabandiyyah yang sesuai dengan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.
Sejarah perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah dalam mengembangkan sumber daya masyarakat. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun olehnya, sehingga menjadi piranti bagi perjuangan rakyat Sumatera Tengah (mencakup Sumbar, Riau dan Jambi).
  1. Reformasi sistem pendidikan agama sebagai modal perjuangan rakyat dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Siklus dari reformasi yang dilakoni Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli ialah membentuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Proses berdirinya MTI ini didahului dengan musyawarah antara ulama-ulama yang dilaksanakan di Candung pada tanggal 5 Mei 1928. Di antara ulama yang menghadiri rapat ini ialah: Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Abbas Al-Qadhi dari Ladang Laweh Bukittinggi, Syeikh Ahmad dari Suliki, Syeikh Jamil Jaho dari Padang Panjang, Syeikh Abdul Wahid Ash-Shaleh dari Tabek Gadang, Syeikh Muhammad Arifin dari Batu Hampar, Syeikh Alwi dari Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syeikh Jalaluddin dari Sicincin Pariaman, Syeikh Abdul Madjid dari Koto Nan Gadang Payakumbuh. Secara genetif MTI yang ia dirikan merupakan poros dari eksistensi MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216 MTI yang eksis di Sumatera Barat.
  2. Pada tanggal 28 Mei 1930 ia memprakarsai berdirinya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berfungsi sebagai pengelola MTI-MTI yang berada di bawah naungannya. Namun disebabkan gejolak reformasi pada Tahun 1946, PERTI yang khittah-nya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih fungsi menjadi partai politik. Peralihan fungsi PERTI ini menjadi partai politik disebabkan argumen KH. Sirajuddin Abbas muridnya “Agama Juga Harus Memberi Arah Pada Perjuangan Politik Bangsa”. Namun pada tanggal 1 Mei 1969 ia mengeluarkan Dekrit agar PERTI kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan.


Pengaruh
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan maupun lawan. Sejak zaman pemerintahan Belanda, ia sering dikunjungi pemimpin-pemimpin bangsa. Bahkan sebelum Soekarno menjadi Presiden hingga berkuasa, sering berkunjung ke rumahnya. Pada zaman kemerdekaan ia sempat diamanatkan oleh Soekarno sebagai anggota konstituante RI, dan ditempatkan sebagai Dewan Kehormatan dengan menjadi pemimpin sidang pada sidang-sidang konstituante tersebut. Pada tahun 1947 ia juga diamanatkan oleh Sutan Muhammad Rasyid sebagai kepala Mahkamah Syar’iyyah propinsi Sumatera Tengah. Tugasnya adalah mengurus problematika syar’iyyah dan sekaligus ulama yang berperan sebagai pengobar semangat perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan negara.

Pada masa itu juga, sebagaimana dituturkan oleh salah seorang muridnya, Abuya Amilizar Amir, bahwa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli pernah akan ditangkap oleh tentara Belanda. Namun pada saat mengajar, ia berfirasat akan ditangkap. Ketika menyadari hal itu, yang biasanya berada di tempat pengajaran, ia keluar dan berjalan di jalan desanya bukan untuk melarikan diri. Silang beberapa saat, kendaraan yang membawa tentara Belanda yang bertujuan untuk menangkapnya lewat. Tepat dihadapannya tentara Belanda berhenti, ia pun langsung bertanya, "Hendak kemana tuan-tuan semuanya"? Ketika itu tentara Belanda tidak mengenal wajah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli. Namun mereka berpatokan kepada siapa yang sedang mengajar di MTI itulah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli. Dan memang pada hari itu satu-satunya yang mengajar di MTI adalah beliau. Oleh karenanya mereka menjawab, "Kami hendak bertemu dan menangkap Syeikh Sulaiman". Malah ia menawarkan mereka singgah untuk beristirahat di rumahnya sembari mengatakan, "Alangkah baiknya tuan-tuan singgah terlebih dahulu di rumah saya, karena tuan-tuan pasti akan bertemu dengan orang yang tuan-tuan cari". Setelah beristirahat dan berbincang-bincang dengannya, lalu mereka bertanya, "Mana Syeikh Sulaiman yang tuan katakan itu"? Ia menjawab, "Syeikh Sulaiman yang tuan-tuan cari itu adalah saya sendiri". Mereka merasa terkejut ketika mendengarkan pengakuannya. Tetapi anehnya, mereka mengurungkan niat untuk menangkapnya tanpa alasan yang jelas. Bahkan, mereka langsung meminta maaf. Inilah di antara bentuk perlindungan Allah Swt kepada seorang ulama.

Karya-karya
Sebagai seorang ulama dan ahli adat, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli telah melahirkan beberapa karya yang di antaranya banyak dipelajari oleh pelajar Muslim Sumatera dan beberapa kawasan nusantara lainnya. Di antara karya-karyanya:


Dhiyâ' al-Sirâj fî al-Isrâ' wa al-Mi'râj ضياء السراج في الإسراء والمعراج
Tsamarah al-Ihsân fî Wilâdah Sayyid al-Insân ثمرة الإحسان في ولادة سيد الإنسان
Dawâ' al-Qulûb fî Qishshah Yusuf wa Ya'qûb دواء القلوب في قصة يوسف ويعقوب
Risâlah al-Aqwâl al-Wasithah fî al-Dzikr wa al-Râbithah رسالة الأقوال الواسطة في الذكر والرابطة
Qaul al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân قول البيان في تفسير القرآن
Al-Jawâhir al-Kalâmiyyah الجواهر الكلامية
Al-Aqwâl al-Mardhiyyah الأقوال المرضية
Sabîlu al-Salâmah fî Wird Sayyid al-Ummah سبيل السلامة في ورد سيد الأمّة
Aujaz al-Kalâm fî Arkân al-Shiyâm أوجز الكلام في أركان الصيام
Perdamaian Adat dan Syara'
Pengangkatan Penghulu di Minangkabau
Kisah Muhammad Arif dan belasan karya tulis lainnya.

Ia wafat pada 29 Jumadil Awal 1390 H/ 1 Agustus 1970 M. Pada hari pemakamannya, diperkirakan ada tiga puluh ribu umat Islam yang hadir. Termasuk para pemimpin dari dalam negeri, bahkan dari Malaysia. Bendera RI dikibarkan setengah tiang selama 3 hari berturut-turut. Kepergiannya meninggalkan duka yang dalam bagi rakyat Indonesia, karena hilangnya salah seorang ulama yang kharismatik. Jasanya sebagai perintis kemerdekaan dan pengemban agama Islam tidak dapat dinilai hanya dengan penghargaan Oranye Van Nassau dari pemerintah Belanda, Bintang Sakura dari pemerintah Jepang, serta penobatan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dan dianugerahi tanda penghargaan sebagai ulama pendidik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana semua komponen masyarakat mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

*Zul 'Asfi (Abu Fairouz) Mahasiswa semester VIII Fakultas Dirasat Islamiyyah UIN Syahid Jakarta, Mahasantri semester II Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, asal Bukittinggi, Sumatera Barat

Ungkapan Imam 'Ali

Imam Ali ra berkata; siapa saja yang mengatakan bahwa Tuhan kita mahdud (mempunyai batas Zat dan Sifat), berarti dia tidak memahami Tuhan Sang Pencipta. Hadis mawquf riwayat Imam Abu Nu'aim dalam kitab hilyatul awliya'. Sebagaimana Allah saw telah berfirman ليس كمثله شيئ, bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya. Karena keterbatasan hanyalah bagi makhluk. Maha suci Allah dari sifat-sifat makhluk. By Abu Faifouz

Ungkapan al-Imam al-Thahawi

"Maha suci Allah swt dari segala keterbatasan Zat dan Sifat-Nya dan dari segala anggota badan dan peralatan, dan Dia tidak diliputi oleh enam penjuru (depan, belakang, atas, bawah, kiri dan kanan) sebaimana itu semua adalah sifat makhluk".
Menarik, sebuah ungkapan yang terlahir dari al-Qur'an dan al-Hadits oleh Imam al-Thahawi. Beliau melanjutkan jejak salafus shaleh dalam menyucikan Allah swt dari segala bentuk tasybih (penyerupaan dengan makhluk) tanpa melakukan ta'thil (pembatalan sifat Allah swt).Di zaman sekarang masih ada saja orang-orang yang terkecoh dalam mengambil prinsip berakidah. Mereka menganggap bahwa yang penting adalah adanya perbedaan antara Allah, berhala, "tuhan-tuhan" ciptaan manusia tanpa mengetahui konsep perbedaan itu. Jika berhala tidak bisa berbicara -misalnya- maka Allah swt punya sifat kalam. Jika "tuhan-tuhan" ciptaan manusia tidak dapat menguasai alam, maka Allah swt maha kuasa atas segala sesuatu.Namun ternyata prinsip berakidah dalam Islam tidak sesimple itu. Al-Qur'an dan Hadits benar-benar memberikan konsep itu agar akidah setiap muslim benar-benar steril dari segala keserupaan antara Allah swt dengan makhluk-Nya.
Terkecoh yang dimaksudkan itu adalah ketika para pengkaji akidah berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat, ternyata banyak diantara mereka yang terjerat oleh konsep yang keliru, sehingga mereka terperosok kepada akidah kaum musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah swt dengan makhluk-Nya). Seperti lafaz yad, astiwa', 'ain, dll. Secara etimologi dapat diketahui makna yad yaitu tangan. Istiwa' dengan makna duduk. Begitu juga 'ain yang bermakna mata. Akan tetapi ketika lafaz-lafaz ini disandarkan kepada Allah swt, maka haram hukumnya memaknainya dengan makna hakiki dimana akan terjadi penyerupaan Allah swt dengan makhluk-Nya.Oleh karena itu, salafusshaleh tidak satupun yang memaknainya secara bahasa, karena pemaknaan secara bahasa hanya jika disandarkan kepada makhluk. Walaupun mereka sangan paham akan bahasa arab. Mereka menyerahkan maksud dan maknanya kepada Allah swt sembari mengimani apa saja yang tercantum dalam al-Qur'an dan al-Hadits tanpa menafikan ayat-ayat mutasyabihat itu. Allahu a'lam. By Abu Fairouz